Pondokgue.com – Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan akses layanan kesehatan yang cepat dan fleksibel, layanan telepharmacy di Indonesia mulai mendapatkan perhatian lebih dari publik maupun institusi kesehatan.
Telepharmacy membuka jalan baru bagi masyarakat untuk mendapatkan konsultasi obat tanpa harus datang langsung ke apotek atau rumah sakit.
Dengan perkembangan teknologi komunikasi dan dorongan digitalisasi sektor kesehatan, telepharmacy diprediksi akan menjadi bagian integral dari sistem pelayanan farmasi masa depan.
Apa Itu Telepharmacy?
Telepharmacy adalah layanan farmasi jarak jauh yang memungkinkan pasien berkonsultasi dengan apoteker melalui media digital seperti video call, aplikasi, pesan instan, atau platform khusus. Layanan ini mencakup:
- Konsultasi penggunaan obat
- Edukasi efek samping dan interaksi obat
- Pemberian informasi resep digital
- Tindak lanjut terapi dan pemantauan pasien
Telepharmacy menggabungkan kompetensi farmasis dengan kemudahan teknologi, sehingga pelayanan farmasi menjadi lebih inklusif dan merata.
Manfaat Telepharmacy Bagi Masyarakat
1. Akses Mudah dan Cepat
Pasien yang tinggal di daerah terpencil, lansia, atau mereka yang memiliki keterbatasan mobilitas bisa mengakses layanan farmasi tanpa harus keluar rumah.
2. Efisiensi Waktu dan Biaya
Telepharmacy menghemat waktu tunggu di apotek serta biaya transportasi, tanpa mengurangi kualitas informasi dan edukasi yang diberikan oleh farmasis.
3. Dukungan Terapi Berkelanjutan
Pasien dengan terapi jangka panjang seperti diabetes, hipertensi, atau asma bisa mendapatkan pemantauan dan edukasi rutin tanpa harus sering kontrol ke fasilitas kesehatan.
4. Meminimalkan Risiko Kontak Langsung
Terbukti sangat efektif selama pandemi COVID-19, telepharmacy membantu mengurangi kerumunan di apotek dan meminimalisir risiko penularan penyakit menular.
Tantangan Implementasi Telepharmacy di Indonesia
Meskipun layanan telepharmacy di Indonesia menawarkan berbagai manfaat besar, implementasinya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terdapat sejumlah tantangan mendasar—baik dari sisi infrastruktur, regulasi, kompetensi SDM, hingga penerimaan masyarakat—yang masih harus ditangani agar telepharmacy bisa berkembang secara merata dan berkelanjutan.
1. Keterbatasan Infrastruktur Teknologi
Masalah paling mendasar adalah belum meratanya akses internet yang stabil, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Telepharmacy sangat bergantung pada konektivitas data untuk mengakses aplikasi, melakukan konsultasi video, dan sinkronisasi sistem resep digital. Ketika jaringan lambat atau tidak tersedia, pelayanan menjadi terganggu dan kepercayaan masyarakat bisa menurun.
Selain itu, banyak fasilitas kesehatan kecil dan apotek komunitas yang belum memiliki perangkat pendukung seperti tablet, laptop, atau software khusus yang mendukung layanan telepharmacy.
2. Literasi Digital yang Belum Merata
Tidak semua tenaga farmasi terbiasa menggunakan teknologi digital. Masih banyak apoteker atau tenaga teknis kefarmasian yang merasa canggung atau kurang percaya diri ketika harus melakukan konsultasi secara daring.
Begitu pula pasien, terutama lansia dan masyarakat dengan latar belakang pendidikan rendah, sering kali kesulitan memahami cara menggunakan aplikasi atau platform layanan kesehatan digital.
Literasi digital yang rendah di kedua sisi ini menghambat efektivitas telepharmacy dan membutuhkan pendekatan edukatif yang berkelanjutan.
3. Belum Ada Standar Operasional Nasional
Saat ini, layanan telepharmacy di Indonesia belum memiliki standar operasional prosedur (SOP) nasional yang baku. Setiap penyedia atau fasilitas kesehatan bisa mengembangkan sendiri sistem dan model layanannya, sehingga terjadi perbedaan kualitas, keamanan data, dan alur kerja yang membingungkan bagi farmasis maupun pasien.
Tanpa regulasi dan pedoman teknis yang jelas dari otoritas seperti Kementerian Kesehatan atau Badan POM, risiko pelanggaran etik dan kesalahan komunikasi bisa meningkat.
4. Tanggung Jawab Hukum yang Masih Abu-abu
Telepharmacy membawa dimensi baru dalam hubungan pasien dan farmasis. Ketika terjadi kesalahan pemberian informasi, miskomunikasi, atau efek samping setelah konsultasi daring, siapa yang bertanggung jawab?
Apakah farmasis, platform penyedia, atau sistem teknologi?
Ketidakjelasan ini membuat banyak tenaga farmasi ragu untuk terlibat aktif dalam layanan digital karena khawatir akan implikasi hukum di masa depan.
5. Kurangnya Integrasi dengan Sistem Pelayanan Lain
Idealnya, telepharmacy terhubung dengan sistem e-resep, rekam medis elektronik (EMR), serta sistem pelaporan nasional seperti SIMRS dan BPJS. Namun kenyataannya, banyak layanan berdiri sendiri dan tidak saling terhubung, sehingga menyulitkan proses verifikasi data pasien atau riwayat penggunaan obat.
Hal ini dapat menurunkan kualitas keputusan terapi dan meningkatkan risiko kesalahan pengobatan.
6. Resistensi Terhadap Perubahan Budaya Pelayanan
Bagi sebagian tenaga farmasi, memberikan konsultasi hanya terasa “sah” ketika dilakukan secara langsung, tatap muka. Ada hambatan psikologis dan budaya kerja yang menganggap layanan daring sebagai “pelengkap”, bukan pelayanan inti.
Diperlukan perubahan mindset dan pendekatan pelatihan berbasis empati untuk menjadikan telepharmacy sebagai bagian penting dari pelayanan farmasi yang setara dengan praktik konvensional.lui pelatihan, sosialisasi, dan integrasi dengan sistem digital layanan kesehatan nasional.
Telepharmacy dan Masa Depan Pelayanan Farmasi
Dengan berkembangnya platform seperti Halodoc, Alodokter, dan layanan resmi dari rumah sakit besar, telepharmacy mulai masuk ke arus utama. Beberapa tren masa depan yang diprediksi akan berkembang:
- Integrasi penuh dengan e-prescription dan EMR
- Platform edukasi interaktif untuk pasien
- Penggunaan chatbot AI farmasi yang terpantau oleh apoteker
- Layanan 24/7 farmasi on-demand
Dengan inovasi ini, farmasis bisa memberikan nilai tambah yang signifikan dalam menjaga kepatuhan pasien terhadap pengobatan dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap obat.
Peran PAFI Kepulauan Badas dalam Mendorong Telepharmacy
Organisasi profesi seperti PAFI Kepulauan Badas memainkan peran penting dalam mendukung percepatan adopsi teknologi farmasi, termasuk telepharmacy.
Melalui pelatihan, seminar daring, dan bimbingan teknis, PAFI mendorong agar farmasis siap menghadapi era pelayanan jarak jauh yang berbasis teknologi.
Informasi lebih lanjut mengenai kegiatan mereka bisa diakses di:
https://pafikepbadas.org/
Langkah-langkah ini penting agar pelayanan farmasi tidak tertinggal dari transformasi digital sektor kesehatan secara keseluruhan.
Kesimpulan: Telepharmacy Bukan Lagi Masa Depan, tapi Kebutuhan Saat Ini
Layanan telepharmacy di Indonesia adalah solusi praktis yang menjembatani akses, efisiensi, dan mutu layanan farmasi. Meskipun implementasinya masih bertahap, kesadaran dan kesiapan semua pihak—tenaga farmasi, organisasi profesi, penyedia teknologi, dan regulator—akan menjadi kunci suksesnya layanan ini di masa depan.
Dengan edukasi yang berkelanjutan dan teknologi yang ramah pengguna, telepharmacy bisa menjadi jembatan bagi layanan farmasi yang lebih merata, modern, dan manusiawi.
Leave a Comment