Pondokgue.com – Lansia merupakan kelompok usia yang paling rentan terhadap kesalahan penggunaan obat, baik karena banyaknya obat yang dikonsumsi (polifarmasi), penurunan fungsi tubuh, maupun keterbatasan dalam memahami aturan pakai.
Di sinilah pentingnya literasi obat lansia, yaitu kemampuan lansia untuk memahami informasi tentang obat yang mereka konsumsi agar bisa menggunakannya secara benar dan aman.
Sebagai tenaga kesehatan yang paling dekat dengan proses penyerahan obat, farmasis memiliki peran sentral dalam meningkatkan literasi obat pada pasien lansia melalui pendekatan yang komunikatif, sabar, dan personal.
Mengapa Literasi Obat Lansia Perlu Diperkuat?
Seiring bertambahnya usia, lansia mengalami banyak perubahan fisiologis—baik metabolisme, daya ingat, maupun kemampuan melihat dan mendengar.
Ditambah lagi, banyak dari mereka harus mengonsumsi lebih dari 3 jenis obat setiap hari. Kombinasi faktor ini meningkatkan risiko:
- Salah dosis atau frekuensi minum obat
- Bingung membedakan obat yang mirip
- Efek samping yang tidak dilaporkan
- Penghentian obat secara tiba-tiba
- Penggunaan obat tradisional secara bersamaan tanpa konsultasi
Kurangnya pemahaman bisa berujung pada kegagalan terapi, efek samping berbahaya, bahkan rawat inap akibat keracunan atau komplikasi obat.
Strategi Farmasis dalam Meningkatkan Literasi Obat Lansia
Strategi-strategi berikut tidak hanya membantu meningkatkan pemahaman lansia terhadap obat, tetapi juga mempererat hubungan antara farmasis dan pasien.
Dengan pendekatan yang lebih personal dan sabar, edukasi bisa menjadi proses yang membangun kepercayaan, bukan sekadar penyampaian informasi.
Berikut beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan farmasis dalam praktik sehari-hari.
1. Edukasi Verbal yang Sederhana dan Berulang
Farmasis perlu menyampaikan informasi obat dengan bahasa sederhana, suara yang jelas, dan dilakukan berulang. Misalnya, menjelaskan bahwa “obat ini diminum setelah makan pagi dan malam, tidak boleh digabung dengan jamu.”
2. Gunakan Alat Bantu Visual dan Label Warna
Menambahkan simbol (matahari, bulan) atau kode warna pada kemasan bisa membantu lansia mengenali waktu minum. Gambar juga bisa membantu menjelaskan efek obat atau cara penyimpanan.
3. Konsultasi Satu Lawan Satu dengan Keluarga Pendamping
Banyak lansia datang bersama keluarga atau caregiver. Farmasis bisa menjadikan momen ini untuk melibatkan pendamping dalam edukasi, agar informasi bisa disampaikan ulang di rumah.
4. Cetak Informasi Obat dengan Huruf Besar
Label dan leaflet informasi obat sebaiknya dicetak dalam ukuran huruf besar dan jelas. Ini penting karena banyak lansia mengalami gangguan penglihatan ringan.
5. Pantau dan Evaluasi Pemahaman
Setelah memberi edukasi, farmasis bisa mengajak lansia mengulang informasi dengan kata-kata mereka sendiri. Ini membantu memastikan bahwa informasi benar-benar dipahami, bukan hanya didengar.
Tantangan dalam Meningkatkan Literasi Obat Lansia
Meningkatkan literasi obat pada lansia tidaklah semudah memberi brosur atau menyebutkan aturan pakai. Ada berbagai tantangan kompleks yang dihadapi farmasis di lapangan, baik dari sisi pasien, lingkungan, maupun sistem pelayanan itu sendiri.
1. Waktu Konsultasi yang Terbatas
Apotek dan puskesmas seringkali melayani pasien dalam jumlah besar dengan waktu yang sempit. Hal ini membuat konsultasi dengan lansia tidak bisa dilakukan secara optimal. Padahal, edukasi lansia membutuhkan waktu lebih panjang, repetisi, dan komunikasi dua arah.
2. Variasi Tingkat Pendidikan dan Latar Belakang Sosial
Tidak semua lansia memiliki latar belakang pendidikan yang sama. Beberapa bahkan belum terbiasa dengan sistem pelayanan kesehatan modern. Hal ini menyebabkan cara penyampaian informasi harus sangat fleksibel dan disesuaikan dengan masing-masing individu.
3. Keyakinan Tradisional yang Masih Kuat
Banyak lansia lebih percaya pada jamu, ramuan turun-temurun, atau informasi dari tetangga dibanding anjuran farmasis. Bahkan, ketika sudah mendapatkan resep, mereka bisa saja tidak mengonsumsinya karena merasa “lebih cocok dengan yang alami.”
4. Gangguan Kognitif dan Sensorik
Penurunan daya ingat, pendengaran, atau penglihatan menjadi tantangan tersendiri. Informasi yang disampaikan bisa saja langsung terlupa atau tidak terdengar jelas, terutama jika diberikan dalam suasana yang bising atau terlalu cepat.
5. Kurangnya Sarana Edukasi Khusus Lansia
Sebagian besar materi edukasi yang ada masih ditujukan untuk populasi umum. Belum banyak leaflet, video, atau infografik yang dirancang dengan prinsip komunikasi lansia—misalnya dengan huruf besar, kontras tinggi, dan kalimat pendek-pendek.
6. Keterbatasan Dukungan dari Keluarga atau Pendamping
Tidak semua lansia datang dengan anggota keluarga atau caregiver. Tanpa pendamping, informasi penting yang disampaikan bisa hilang begitu saja.
Ketika pulang, mereka bisa lupa obat mana yang harus diminum, atau kapan harus melanjutkan terapi.
Menghadapi tantangan ini, peran farmasis menjadi sangat penting sebagai fasilitator sekaligus komunikator. Edukasi tidak boleh berhenti hanya karena hambatan.
Dibutuhkan kreativitas, empati, dan kesabaran untuk memastikan setiap lansia bisa menjalani pengobatan dengan aman dan bermartabat.
Peran PAFI Banjar Lama dalam Meningkatkan Literasi Obat Lansia
Organisasi seperti PAFI Banjar Lama memiliki kontribusi nyata dalam meningkatkan literasi obat, khususnya pada kelompok rentan seperti lansia. Program-program mereka meliputi:
- Penyuluhan langsung di posyandu lansia dan komunitas RW
- Pelatihan farmasis apotek dalam komunikasi dengan pasien usia lanjut
- Pembuatan leaflet edukatif dan poster bertema “Obat Aman untuk Lansia”
- Edukasi daring melalui media sosial dengan konten visual ringan
Informasi lebih lengkap bisa dilihat di: https://pafibanjarlama.org/
Kesimpulan: literasi obat lansia adalah Kunci Kesehatan
Literasi obat lansia bukan hanya soal informasi, tapi soal keselamatan. Dengan pendekatan edukatif yang tepat, farmasis dapat membantu para lansia menjalani pengobatan yang lebih aman, efektif, dan berkualitas.
Karena kesehatan lansia bukan hanya tanggung jawab keluarga, tapi juga tanggung jawab kita bersama sebagai tenaga kesehatan yang peduli.
Leave a Comment