4 Etika Promosi Obat di Media Sosial Yang Harus Kamu Tahu

Mufid

07/05/2025

5
Min Read
Etika Promosi Obat

Pondokgue.comDi era digital, media sosial telah menjadi saluran komunikasi utama, termasuk dalam dunia kesehatan.

Banyak apotek, farmasis, hingga brand farmasi memanfaatkan platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube untuk menyampaikan informasi seputar obat.

Namun, di balik kemudahan itu, ada tanggung jawab besar yang harus dipegang teguh oleh tenaga farmasi, yaitu etika promosi obat.

Promosi yang tidak sesuai prinsip etika dapat menyesatkan masyarakat, menimbulkan ketergantungan, bahkan membahayakan keselamatan pasien.

Maka, penting bagi farmasis untuk memahami batasan dan prinsip yang harus dijaga dalam komunikasi digital.

Mengapa Etika Promosi Obat Itu Penting?

Obat bukan produk konsumsi biasa. Kesalahan dalam menyampaikan informasi—baik dosis, klaim khasiat, atau aturan pakai—bisa berakibat serius.

Di media sosial, konten bisa viral dalam hitungan jam tanpa verifikasi kebenaran. Jika farmasis ikut menyebarkan informasi tanpa tanggung jawab, maka profesi bisa kehilangan kepercayaan publik.

Etika dalam promosi obat berfungsi untuk:

  • Melindungi keselamatan pasien
  • Mencegah penyalahgunaan atau konsumsi berlebihan
  • Menjaga integritas profesi farmasi
  • Mencegah misleading content dari kompetitor tidak etis

Prinsip Etika Promosi Obat yang Harus Dipegang Farmasis

Sebelum masuk ke daftar prinsip, penting dipahami bahwa setiap konten yang dibuat farmasis akan dilihat sebagai representasi profesi. Maka tanggung jawabnya bukan hanya pada brand, tapi juga pada masyarakat luas.

1. Transparansi dan Kejujuran Informasi

Farmasis tidak boleh melebih-lebihkan manfaat obat atau menyembunyikan efek sampingnya. Informasi harus berdasarkan data ilmiah yang sah dan tidak mengandung janji kesembuhan instan.

2. Tidak Mengganti Konsultasi Medis

Konten edukatif harus mengandung disclaimer bahwa informasi bukan pengganti konsultasi langsung dengan dokter atau farmasis. Misalnya: “Konsultasikan ke tenaga kesehatan sebelum menggunakan produk ini.”

3. Menghindari Gaya Bahasa Promotif Berlebihan

Kalimat seperti “pasti sembuh,” “100% aman,” atau “obat ajaib” harus dihindari. Gunakan pendekatan edukatif, bukan hard-selling. Ini penting untuk menjaga akurasi sekaligus mencegah ekspektasi berlebihan dari masyarakat.

Baca Juga:   3 Manfaat Kapulaga untuk Kesehatan: Rempah Ajaib untuk Tubuh Sehat

4. Menjaga Visual dan Audiens Target

Jangan menampilkan anak-anak meminum obat tanpa pengawasan, atau orang yang terlihat terlalu senang setelah minum obat seperti iklan minuman energi.

Visual juga harus sesuai norma, sopan, dan tidak memancing konsumsi berlebihan.

Tantangan Promosi Obat di Media Sosial

Promosi obat di media sosial bukan hanya soal menyusun caption menarik atau memilih efek transisi keren. Di balik layar, farmasis dihadapkan pada berbagai dilema profesional dan teknis yang bisa mempengaruhi kualitas konten sekaligus kepercayaan publik.

Berikut beberapa tantangan utama yang kerap dihadapi:

1. Tekanan dari Brand atau Sponsor

Saat bekerja sama dengan merek atau distributor, farmasis sering diminta menampilkan produk secara persuasif agar penjualan meningkat.

Tantangannya adalah bagaimana menjaga integritas profesi sambil memenuhi brief sponsor. Farmasis harus mampu menolak permintaan untuk memberikan klaim berlebihan atau testimoni pribadi yang tidak berdasar uji klinis.

2. Kurangnya Pemahaman Regulasi dan Etika Konten

Banyak tenaga farmasi yang belum familiar dengan regulasi Etika Promosi Obat dari BPOM, IAI, maupun kode etik profesi. Akibatnya, mereka bisa tanpa sengaja membuat konten yang melanggar, misalnya:

  • Menampilkan nama dagang obat keras
  • Memberikan saran penggunaan antibiotik tanpa edukasi memadai
  • Memperlihatkan rute pemberian obat injeksi yang tidak layak ditiru publik

Tanpa pemahaman ini, risiko pencabutan izin praktek atau sanksi organisasi menjadi nyata.

3. Kompetitor Tidak Etis yang Viral Lebih Cepat

Konten misleading, clickbait, atau promosi vulgar sering lebih cepat viral karena sifatnya sensasional. Sayangnya, ini bisa menekan farmasis yang idealis untuk “ikut-ikutan” agar tetap relevan. Namun, mempertahankan etika lebih penting untuk jangka panjang daripada sekadar mengejar views sesaat.

4. Masyarakat Lebih Tertarik Hiburan daripada Edukasi

Konten edukasi yang penuh data dan referensi kadang kurang menarik bagi masyarakat awam. Ini membuat farmasis harus pintar mengemas informasi dengan gaya ringan, storytelling, dan visual menarik—tanpa mengorbankan akurasi. Balance ini tidak selalu mudah dicapai, terutama bagi farmasis yang bekerja sendirian membuat konten.

Baca Juga:   Beberapa Model Baju Yang Cocok Untuk Wanita Gemuk

5. Kendala Teknis dan Sumber Daya

Tidak semua farmasis memiliki keahlian desain, editing video, atau waktu luang untuk membuat konten berkualitas. Apalagi jika bekerja di fasilitas layanan dengan beban kerja tinggi, membuat konten medsos bisa terasa seperti pekerjaan tambahan yang berat. Padahal edukasi digital adalah bagian penting dari masa depan profesi.

Peran Farmasis dalam Meningkatkan Literasi Obat Lewat Media Sosial

Alih-alih sekadar promosi, farmasis bisa menggunakan media sosial untuk:

  • Memberikan tips aman minum obat
  • Edukasi seputar antibiotik, vitamin, dan suplemen
  • Menjawab pertanyaan umum dari masyarakat melalui konten Q&A
  • Mengulas fakta vs mitos seputar obat

Dengan pendekatan ini, akun farmasis bisa menjadi sumber informasi terpercaya, sekaligus membangun branding yang profesional.

Inisiatif PAFI Bolaang Mongondow Timur dalam Edukasi Etika Digital

Organisasi seperti PAFI Bolaang Mongondow Timur juga berperan penting dalam membentuk etika promosi farmasi yang sehat. Beberapa langkah yang sudah dilakukan antara lain:

  • Pelatihan pembuatan konten edukatif berbasis etika profesi
  • Diskusi daring soal batasan promosi obat dan regulasi BPOM
  • Mendorong kolaborasi antaranggota untuk membuat konten yang edukatif dan profesional

Kamu bisa cek inisiatif mereka di: https://pafibolaangmongondowtimurkab.org/

Kesimpulan: Promosi Obat Harus Tetap Bertanggung Jawab

Etika promosi obat bukan soal membatasi kreativitas, tapi tentang menjaga amanah profesi. Farmasis harus mampu menyesuaikan diri dengan zaman digital tanpa kehilangan nilai utama: keselamatan pasien dan edukasi publik.

Dengan pendekatan yang transparan, informatif, dan bertanggung jawab, media sosial justru bisa menjadi alat edukasi paling ampuh dalam membangun masyarakat yang paham obat dan sadar risiko penggunaannya.

Leave a Comment

Related Post